PELAKSANAAN
PANCASILA DALAM BEBERAPA ASPEK KEHIDUPAN
DALAM ERA REFORMASI
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila
merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang
majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara
Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas
keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah,
pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu
sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Sila pertama
Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan berbangsa dan
bernegara yang implementasinya mewajibkan semua manusia Indonesia harus
ber-ketuhanan. Karena keberadaan Tuhan melingkupi semua wujud dan sifat dari
alam semesta ini, diharapkan manusia Indonesia dapat menyelaraskan diri dengan
dirinya sendiri, dirinya dengan manusia-manusia lain di sekitarnya, dirinya
dengan alam, dan dirinya dengan Tuhan. Keselarasan ini menjadi tanda dari
mausia yang telah meningkat kesadarannya dari kesadaran rendah menjadi
kesadaran manusia yang manusiawi.
Pancasila,
dalam konteks masyarakat bangsa yang plural dan dengan wilayah yang luas, harus
dijabarkan untuk menjadi ideologi kebangsaan yang menjadi kerangka berpikir
(the main of idea), kerangka bertindak (the main of action), dan dasar hukum
(basic law) bagi segenap elemen bangsa. Namun, dalam kerangka pluralitas dan
multikulturalisme tidak dinafikan dan dihalangi hidupnya ideologi kelompok yang
sifatnya lebih terbatas selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Sebagai contoh, ideologi kelompok keagamaan (ormas), partai politik, dan
etnonasionalisme kesukuan tetap dibiarkan hidup sebagai khasanah kekayaan
bangsa dalam payung ideologi besar Pancasila. Hal ini, dimaksudkan untuk
menghindari pemaksaan dan monopoli ideologi serta penafsiran tunggal. Pada
hakikatnya, Pancasila juga terbuka pada pemikiran ideologi lainnya. Kecuali
terhadap ideologi Komunisme yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila harus
tetap dilarang dan tidak boleh hidup di bumi Indonesia.
Artinya
Pancasila menjadi ajimat yang ampuh bagi rejim dalam mengambil segala bentuk
keputusan, rakyat diharuskan tunduk pada legitimasi yang digunakan dengan
melalui pengatasnamaan Pancasila, inilah di kemudian waktu menjadi permasalahan
yang rumit.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa era
reformasi?
- Bagaimana pelaksanaan Pancasila dalam bidang
ekonomi?
- Bagaimana pelaksanaan Pancasila dalam bidang
politik dan hukum?
C. Tujuan
Makalah ini
ditujukan untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai Pancasila diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum pada masa era
reformasi saat ini.
Bab II
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Pancasila Pada Masa
Reformasi
Terlepas
dari kenyataan yang ada, gerakan reformasi sebagai upaya memperbaiki kehidupan
bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal, terutama yang berkaitan dengan dampak
politik, ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan. Para elite
politik cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih
kekuasaan sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan
kepentingan politik. Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi
kemanusiaan yang sangat memilukan. Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa
dan rakyat kecil yang tidak berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan
politik. Tragedi “amuk masa” di Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan
bukti mahalnya sebuah perubahan. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, nampak
sekali bahwa bangsa Indonesia sudah berada di ambang krisis degradasi moral dan
ancaman disintegrasi.
Kondisi
sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak berpihak kepada
kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat
dari banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar dan dengan
sendirinya akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah
pengangguran yang tinggi terus bertambah seiring dengan PHK sejumlah tenaga
kerja potensial. Masyarakat kecil benar-benar menjerit karena tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini diperparah dengan naiknya
harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, serta harga bahan kebutuhan pokok
lainnya. Upaya pemerintah untuk mengurangi beban masyarakat dengan menyediakan dana
sosial belum dapat dikatakan efektif karena masih banyak terjadi
penyimpangan dalam proses penyalurannya. Ironisnya kalangan elite politik dan
pelaku politik seakan tidak peduli den bergaming akan jeritan kemanusiaan
tersebut.
Di balik
keterpurukan tersebut, bangsa Indonesia masih memiliki suatu keyakinan bahwa
krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan masyarakat akan
menjadi lebih baik. Apakah yang dasar keyakinan tersebut? Ada beberapa
kenyataan yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam memperbaiki
kehidupannya, seperti: (1) adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada pandangan
hidup bangsa Indonesia; (2) adanya kekayaan yang belum dikelola secara optimal;
(3) adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).
B. Pelaksanaan Pancasila dalam
Bidang Ekonomi
Hampir semua
pakar ekonomi Indonesia memiliki kesadaran akan pentingnya moralitas kemanusiaan
dan ketuhanan sebagai landasan pembangunan ekonomi. Namun dalam praktiknya,
mereka tidak mampu meyakinkan pemerintah akan konsep-konsep dan teori-teori
yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Bahkan tidak sedikit pakar ekonomi
Indonesia yang mengikuti pendapat atau pandangan pakar Barat (pakar IMF)
tentang pembangunan ekonomi Indonesia.
Pilar Sistem
Ekonomi Pancasila meliputi: (1) ekonomika etik dan ekonomika humanistik
(dasar), (2) nasional ekonomi dan demokrasi (cara/metode operasionalisasi), dan
(3) ekonomi berkeadilan sosial (tujuan). Kontekstualisasi dan implementasi
Pancasila dalam bidang ekonomi cukup dikaitkan dengan pilar-pilar di atas dan
juga dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dipecahkan oleh
sistem ekonomi apapun. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: (a) Barang dan jasa
apa yang akan dihasilkan dan berapa jumlahnya; (b) Bagaimana pola atau cara
memproduksi barang dan jasa itu, dan (c) Untuk siapa barang tersebut
dihasilkan, dan bagaimana mendistribusikan barang tersebut ke masyarakat.
Langkah yang
perlu dilakukan adalah perlu digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila
melalui proses pendidikan dan keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan penyadaran
agar ilmu ekonomi ini dikembangkan ke arah ekonomi yang humanistik, bukan sebaliknya
mengajarkan keserakahan dan mendorong persaingan yang saling mematikan untuk
memuaskan kepentingan sendiri. Ini dilakukan guna mengimbangi ajaran yang
mengedepankan kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai manusia
ekonomi (homo ekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya sebagai
makhluk sosial (homo socius), dan makhluk beretika (homo ethicus).
Relevankah
Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan ekonomi rakyat dan ekonomi negara di
era global (isme) kontemporer? Mereka skeptis, bukankah sistem ekonomi kita
sudah mapan, makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator rendahnya inflasi (di
bawah 5%), stabilnya rupiah (Rp 8.500,-), menurunnya suku bunga (di bawah 10%).
Lalu, apakah tidak mengada-ada bicara sistem ekonomi dari ideologi yang pernah
“tercoreng”, dan tidak nampak wujudnya, tidak realistis, dan utopis? Mereka ini
begitu yakin bahwa masalah ekonomi (krisis 97) adalah karena “salah urus” dan
bukannya “salah sistem”, apalagi dikait-kaitkan dengan “salah ideologi” atau
“salah teori” ekonomi. Tidak dapat disangkal, KKN yang ikut memberi sumbangan
besar bagi keterpurukan ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga
tidak terlepas dari berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan
liberalisme ekonomi yang “kebablasan”. Akibatnya, kebijakan, program, dan
kegiatan ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan teori-teori
kapitalisme-liberal.
Di sinilah
relevansi Ekonomi Pancasila, sebagai “media” untuk mengenali (detector)
bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari negara
kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara.
Pembangunan
politik memiliki dimensi yang strategis karena hampir semua kebijakan publik
tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya. Tidak jarang kebijakan publik yang
dikeluarkan pemerintah mengecewakan sebagian besar masyarakat. Beberapa
penyebab kekecewaan masyarakat, antara lain: (1) kebijakan hanya dibangun atas
dasar kepentingan politik tertentu, (2) kepentingan masyarakat kurang mendapat
perhatian, (3) pemerintah dan elite politik kurang berpihak kepada masyarakat,
(4) adanya tujuan tertentu untuk melanggengkan kekuasaan elite politik.
Keberhasilan
pembangunan politik bukan hanya dilihat atau diukur dar terlaksananya pemilihan
umum (pemilu) dan terbentuknya lembaga-lembaga demokratis seperti MPR,
Presiden, DPR, dan DPRD, melainkan harus diukur dari kemampuan dan kedewasaan
rakyat dalam berpolitik. Persoalan terakhirlah yang harus menjadi prioritas
pembangunan bidang politik. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa
manusia adalah subjek negara dan karena itu pembangunan politik harus dapat
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Namun, cita-cita ini sulit diwujudkan
karena tidak ada kemauan dari elite politik sebagai pemegang kebijakan publik
dan kegagalan pembangunan bidang politik selama ini.
Pembangunan
politik semakin tidak jelas arahnya, manakala pembangunan bidang hukum
mengalami kegagalan. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi tidak dapat
ditegakkan oleh hukum. Hukum yang berlaku hanya sebagai simbol tanpa memiliki
makna yang berarti bagi kepentingan rakyat banyak. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan politik juga belum dapat direalisasikan sebagaimana yang
dicita-citakan. Oleh karena itu, perlu analisis ulang untuk menentukan
paradigma yang benar-benar sesuai dan dapat dilaksanakan secara tegas dan
konsekuen.
Pancasila
sebagai paradigma pambangunan politik dan hukum kiranya tidak perlu
dipertentangkan lagi. Bagaimanakah melaksanakan paradigma tersebut dalam
praksisnya? Inilah persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunan
politik dan hukum di masa-masa mendatang.
Apabila dianalisis, kegagalan
tersebut disebabkan oleh beberapa persoalan seperti:
- Tidak jelasnya paradigma pembangunan politik dan
hukum karena tidak adanya blue print.
- Penggunaan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan masih bersifat parsial.
- Kurang berpihak pada hakikat pembangunan politik
dan hukum.
Prinsip-prinsip
pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah
membawa implikasi yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.
Pembangunan bidang ini boleh dikatakan telah gagal mendidik masyarakat agar
mampu berpolitik secara cantik dan etis karena lebih menekankan pada upaya
membangun dan mempertahankan kekuasaan. Implikasi yang paling nyata dapat
dilihat dalam pembangunan bidang hukum serta pertahanan dan keamanan.
Pembangunan
bidang hukum yang didasarkan pada nilai-nilai moral (kemanusiaan) baru sebatas
pada tataran filosofis dan konseptual. Hukum nasional yang telah dikembangkan
secra rasional dan realistis tidak pernah dapat direalisasikan karena setiap
upaya penegakan hukum selalu dipengaruhi oleh keputusan politik. Oleh karena
itu, tidak berlebihan apabila pembangunan bidang hukum dikatakan telah
mengalami kegagalan. Sementara, pembangunan bidang pertahanan dan keamanan juga
telah menyimpang dari hakikat sistem pertahanan yang ingin dikembangkan seperti
yang dicita-citakan oleh para pendiri republik tercinta ini. Pembangunan
pertahanan dan keamanan lebih diarahkan untuk kepentingan politik, terutama
guna mempertahankan kekuasaan.
Bab III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pancasila
sebagai warisan bangsa dapat digolongkan sebagai budaya sebab kompleksitas
masyarakat Indonesia pada dasarnya dibangun selaras paham-paham dalam
Pancasila. Dalam budaya Pancasila, dianut dan dikembangkan sikap kekeluargaan
yang dilandasi oleh semangat kebersamaan, kesediaan untuk saling mengingatkan, saling
mengerti dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
Budaya ini
sudah terbukti mampu membawa bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, menggalang
persatuan dan kesatuan, dan mendorong pembangunan. Keberhasilantersebut dapat
terwujud sebab potensi konflik akibat perbedaan budaya tidak bisa hidup dalam
Pancasila. Sebaliknya, budaya Pancasila itu terus menerus diperbaharui lewat
pengalaman hidup bernegara dan bermasyarakat sehingga ia bisa mempertahankan
dan memperkuat nilai-nilai mosaik budaya etnis yang ada di bumi Nusantara.
Sungguh suatu interaksi budaya yang dua arah dan dinamis.
Memahami
peranan Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar
negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga
negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama, dan akhirnya memiliki persepsi
dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan, dan fungsi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apalagi manakala dikaji
perkembangannya secara konstitusional selama lebih dari 55 tahun terakhir ini
dihadapkan pada situasi yang tidak kondusifsehingga kredibilitasnya menjadi
diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun akademis. Hal ini
diperparah oleh minimal dua hal, ialah: pertama, penerapan Pancasila yang
dilepaskan dari prinsip-prinsip dasar filosofinya sebagai dasar negara; dan
kedua, krisis multi dimensional yang melanda bangsa Indonesia sejak 1998 yang
diikuti oleh fenomena disintegrasi bangsa.